Adalah David Easton
(1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard University, memperkenalkan
pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang
menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh
sampai akhir tahun 1960-an (lihat Harold Laswell dan Robert Dahl). Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan
konteks spesifik. Sedangkan
ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan
melihat masalah lebih konstekstual.
Sebagai pendukung
setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik menjadi
ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah
saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untukmengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat
kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan
rutinitas dan proses politik secara umum.
Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik
sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai.
Menurut Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya
berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan.
Easton menganggap politik sebagai
organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi
pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan
bereproduksi, dan terutama, berubah.
Easton menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak
ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini (lihat teori
institusionalisme). Lebih jauh, Easton
menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan
analisis. Oleh karena itu, abstraksi
Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Hasil karya
pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga volume
buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political Analysis”
(1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of Political Life”
(1979).
Fokus perhatian
Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik
agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada
perubahan. Dalam menjawab pertanyaan
ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian akan bagaimana sistem
politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup
masyarakat.,
Secara sederhana Easton
mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti halnya memahami sistem
lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang
lebih besar. Namun demikian, sistem
politik menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan
membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.
Perbedaan satu
sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga
dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan). Polity diambil dari dimensi
formal politik, yaitu, struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur
institusi mana yang semestinya ada dalam politik. Politik dari dimensi
prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan
mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik
yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti siapa yang dapat memaksakan
kepentingannya? mekanisme seperti apa yang berlangsung dalam menangani konflik?
dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai dimensi politik, melihat substansi
dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem
administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Easton
berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih
efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan
pendidikan politik.
Fokus pendekatan
sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai prasyarat
sebelum memasuki proses konversi dalam
sistem politik. Setelah melalui proses
konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam
bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada
gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan
masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar