Senin, 30 April 2012

Teori perilaku kekerasan



Perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, yaitu (1) teori belajar sosial, (2) teori insting, (3) teori kepribadian, (4) teori kognitif, dan (5) teori frustasi agresi.

Teori Belajar Sosial. Menurut Bandura (dalam Thalib, 2003) perilaku individu pada umumnya dipelajari secara observasional melalui model, yaitu mengamati bagaimana suatu perilaku baru dibentuk dan kemudian menjadi informasi penting dalam mengarahkan perilaku. 

Sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model. Contoh kegiatan demonstrasi yang dilanjutkan dengan tindakan anarkhis (membakar ban di tengah jalan, merobohkan pintu gerbang, bentrok dengan aparat keamanan, dan sebagainya) dapat menjadi model perilaku kekerasan bagi para demonstran.


Teori Insting. Teori Freud mengenai insting kerap mengundang kontroversi. Teori ini menegaskan bahwa timbulnya perilaku kekerasan adalah karena insting, yaitu perwujudan psikologis dari suatu sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir sehingga semua orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan. Semula Freud mengemukakan bahwa perilaku kekerasan itu berkaitan erat dengan energi libidoseksual, jika insting seksual ini mengalami hambatan maka timbullah perilaku kekerasan. 

Selanjutnya Freud mengemukakan dikotomi energi positif dan energi destruktif yang keduanya diduga memiliki dasar biologistik yang harus terwujud dalam perilaku nyata. Jika energi destruktif mengarah ke pihak luar maka menjadi pemicu perilaku kekerasan terhadap orang lain, sedangkan jika mengarah pada diri sendiri maka dapat mendorong keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau perilaku bunuh diri.

Teori Kepribadian. Sifat-sifat kepribadian sebagai sifat internal berkorelasi dengan perilaku kekerasan termasuk erosi kontrol internal terhadap sikap cepat marah (Ravinus dan Larimer, 2003). Anak yang mengalami gangguan seperti cepat marah dan mudah menyerang cenderung mengembangkan pola perilaku kekerasan pada usia selanjutnya. Dengan demikian faktor temperamen yang merupakan bagian dari komponen kepribadian berkaitan dengan perilaku kekerasan.


Teori Kognitif. Konsep dasar teori kognitif mengacu pada kegiatan mental yang tidak dapat diubah begitu saja dalam menjelaskan perilaku sosial dengan postulat yang sesungguhnya seperti persepsi, pikiran, intensi, perencanaan, keterampilan, dan perasaan. Teori kognitif sosial menekankan pentingnya interaksi resiprokal faktor-faktor individu sebagai penentu perilaku kekerasan. Kecenderungan perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan mengacu pada teori kognitif.

Teori Frustasi-Agresi. Terjadinya frustasi adalah jika seseorang tidak dapat memiliki sesuatu yang diinginkan pada waktu orang tersebut benar-benar memerlukannya. Dollard et al (dalam Wimbarti, 1996) berkeyakinan bahwa setiap tindakan agresi dan kekerasan pada akhirnya dapat dilacak penyebabnya dalam kaitannya dengan frustasi. Frustasi merupakan salah satu faktor penentu agresi dankekerasan.

partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan


Kekerasan merupakan salah satu kejahatan struktural yang paling berbahaya. Kekerasan yang sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis yang dipakai dalam sistem sosial politik (Haryatmoko, 2003). 

Secara sistematis bentuk kekerasan ini lazimnya diterapkan oleh penguasa otoriter untuk menghadapi lawan politik, melemahkan oposisi, dan sejenisnya. Kekerasan psikologis terkait dengan kekerasan negara atau kekerasan yang terlembagakan. Dinamakan kekerasan yang terlembagakan karena kekerasan ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik yang mendapat legitimasi dari sistem nilai dan ideologi.

Di negara-negara dunia ke tiga pada umumnya, kekerasan yang dilembagakan ini memakan korban, seperti kelompok minoritas dan kaum oposisi. Mereka yang dipandang musuh oleh negara, yaitu kelompok yang tidak sesuai dengan politik penguasa maka secara sistematis akan menjadi korban kekerasan ini. Kekerasan sebagai alat untuk memberikan hukuman bagi para pelanggar kekuasaan atau tatanan sosial telah mengalami pergeseran makna karena kekerasan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Artinya kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap penguasa menjadi diperbolehkan terhadap rakyat biasa dan terhadap lawan politik dari penguasa. Sementara itu dalam kekerasan structural, terdapat dialektika antara pelaku dengan struktur. Penguasa cenderung mengatasnamakan hukum dan ketertiban untuk melegitimasi perilaku kekerasan. Sementara pihak oposisi juga dapat melakukan kekerasan karena merupakan reaksi atas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan penguasa.

Perilaku kekerasan juga disebut dengan istilah agresi, yaitu untuk menggambarkan perilaku destruktif yang sulit dikontrol, tidak hanya meliputi tindakan yang bersifat pisik, melainkan juga mencakup kekerasan verbal, psikologis, dan simbolis, atau kombinasi dari berbagai aspek tersebut. Pendapat ini didukung oleh Semin & Fiedler (1996), Berkowitz (1999), dan Suryabrata (2000).