Sabtu, 19 Mei 2012

Pancasila Sebagai Etika Politik


Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila
Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai Tjosakai oleh Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk menyelidiki dan merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia.

Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan dasar atau falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan draft dasar negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga orang ini dalam tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang.

Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan usulannya. Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi; negara yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat integralistis atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup berketuhanan tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah agar pemimpin negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan azas kekeluargaan, tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan Indonesia asli. 

Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang meliputi; persatuan, kewargaan, kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial.

Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan rumusan; kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang perumusan dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena kita langsung dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas dengan Pancasila yang ada sampai sekarang ini.

Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang dibentuk oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta. Yang isinya adalah rumusan Pancasila berikut ini;
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik yang sangat tajam antara para elittokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila pertama. Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan adanya tujuh kataini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk bukan hanya karena umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru lahir, atas usul Bung Hatta, tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa

Jumat, 18 Mei 2012

Sosialisasi Politik


Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropha  Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta keikutsertaan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan  dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu fihak dan pemerintah difihak lain. Partai politik umumnya dianggap  sebagai manifestasi dari suatu sitem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri.

Maka dari itu, dewasa  ini negara-negara baru pun partai sudah menjadi  lembaga politik yang biasa dijumpai. Dinegara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar idiologis bahwa rakyat berhak untuk menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin  yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Dinegara –negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pada pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang baik.

Politik adalah sebuah system yang terdiri dari seperangkat unsur/elemen/komponen maupun sub system yang saling interrelasi, interaksi, interdependensi sehingga merupakan suatu totalitas, entitas yang utuh, terpadu dan mempunyai fungsi maupun output tertentu. Semua itu tentunya memiliki tujuan akhir dengan jalan internal maupun eksternal.  Tujuan akhir dalam pencapaian politik juga sangat ditentukan oleh  sistem politik itu sendiri.

System tidak bisa dilepaskan dari pendefinisiannya secara subjektif atau objektif, sebagai ilustrasi pendefinisian terhadap sebuah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak, sementara ada yang mendefinisikan bahwa keluarga dapat berdiri sendiri tanpa lkehadiran seorang ayah atau ibu, hal itu bisa saja dilakukan dengan bayi tabung. Definisi lain mnegatakan bahwa seorang guru mendefinisikan pekerjaannya lah yang lebih penting dibandingkan dengan pekerjaan yang lainnya. Dia beranggapan bahwa siapapun tidak akan pintar tanpa bantuannya, intinya setiap peran didefinisikan oleh pelakunya – demikian halnya pendefinisian dalam politik.

Politik sebagai suatu sistem memiliki pengertian dan batasan-batasan, batasan yang kita kenal tersebut diantaranya dikemukakan oleh David Eston  yang terdiri dari tiga komponen yaitu : (1) The political system allocates value ( by means of politics) ;  (2)  its allocation are authoritative; and (3) its authoritative allocation are binding on the society as a whole.

Pengertian atau batasan yang dikemukakan oleh David Eston diatas menyatakan  bahwa sistem politik adalah merupakan alokasi  daripada nilai-nilai, dalam mana pengalokasian daripada nilai-nilai tadi bersifat paksaan atau dengan kewenangan, dan pengalokasian yang bersifat paksaan tadi mengikat  masyarakat  sebagai suatu keseluruhan .    Lebih jauh David Eston menyatakan pula bahwa system politik dapat diperkenalkan sebagai seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari seluruh tingkah laku sosial, melalui mana nilai-nilai tersebut dialokasikan secara otoritatif kepada masyarakat

Sebagai ilustrasi, pada politik masa orde baru system politik mengarah kepada sistem politik demokrasi pancasila  yang dilakukan  melalui pendekatan stabil dinamis. Stabil dalam arti bahwa proses pembangunan jangan sampai mengganggu kestabilan kehidupan politik yang diperlukan untuk menyukseskan pembangunan dibidang lainnya. Dinamis dalam arti bahwa kestabilan politik  yang ada dan berlaku jangan sampai bergerak ditempat, mandeg, tetap berada di jenis status quo, sehingga menghambat proses pembangunan politik dari satu tahap ke tahap berikutnya. 

Hambatan-hambatan ini harus dapat diminimaslisir dengan upaya-upaya pencapaian tujuan yang sebenarnya harus dirancang sebelumnya untuk mencapai satu tujuan politik yang diinginkan.  Upaya pencapaian tujuan itu bukanlah hal yang instan melainkan memerlukan perjalanan yang panjang dengan berbagai penciptaan kondisi dan penyiapan kader  -kader sesuai dengan misi patria politik.  Penyiapan kader-kader yang sesuai dengan keinginan kelompok/partai politik  selanjutnya dapat dilakukan dengan melakukan sosialisais politik. Sosialisasi politik ini melibatkan segala komponen yang ada didalam masyarakat termasuk kelompok-kelompok kepentingan  yang memiliki signifikansi terhadap pencapaian tujuan.

Keberhasilan suatu sosialisai politik merupakan keberhasilan suatu kondisi masyarakat, artinya bahwa keberhasilan dalam sosialisasi politik sangat tergantung pada kerjasama masyarakat itu sendiri dan kondisi sosial masyarakat.  Elemen-elemen pembangun dan penggerak kehidupan politik, memberikan sumbangan sesuai dengan kapasitasnya terhadap terjadinya perubahan-perubahan yang terjadi dalam percaturan politik, terutama dalam upaya kepemilikan kekuasaan yang akan menjadi agen perubahan system yang ada. Kesemuanya itu dibangun untuk menciptakan dominasi satu kelompok atas kelompok yang lain, dominasi adalah hal yang tidak bisa dibagi secara merata, otomatis yang memilikinya adalah satu kelompok tertentu dan hal itu hanya bisa dicapai dengan kemenangan politik. Pada prinsipnya sistim politik harus menghimpun support dan menghilangkan demand.

Sifat demikian bukanlah merupakan hal yang mudah melainkan memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. bagaimana tidak berbagai upaya banyak dilakukan oleh berbagai kelompok agar mampu memenangkan kekuasaan politik. Dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki tingkat pluralisme yang tinggi. Terdiri dari beribu – ribu pulau, berbagai macam suku Bangsa, ras, dan agama yang tersebar diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan keanekaragaman tersebut merupakan dimensi  – dimensi horizontal dari pada struktur masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia yang menjadi semakin penting artinya dari waktu ke waktu, dapat disaksikan dalam dalam bentuk semakin timbulnya polarisasi sosial berdasarkan politik dan kekayaan.  Support dan demand bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan dalam  menunjang kekhuasaan politik, kondisi pluralisem bangsa Indonesia memerlukan  perjuangan yang panjang dalam mewujudkannya.

Dalam konteks yang dikemukanan diatas, kepentingan akan sosialisasi  politik merupakan bagian yang tidak terpisakan dari kondisi masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa kita sekarang berbicara dengan konsep pluralisme dalam melakukan sosialisasi. Tentunya dalam melakukan sosialisasi harus memiliki methode-methode tertentu yang menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa didalam sebuah sistem politik, selalu akan memiliki konsekwensi-konsekwensi  yang penting bagi masyarakat, berupa keputusan yang sifatnya otoritatif. Pada tahap selanjutnya konsekuensi seperti hal inilah yang disebut dengan output. Dilain pihak untuk untuk dapat bekerjanya suatu system sangat memerlukan adanya input.

Terkait dengan hal diatas, terdapat dua jenis input didalam sebuah system politik, yaitu input yang berupa tuntutan (demand) dan input yang berupa dukungan (support). Kedua jenis input inilah yang akan memberikan bahan olahan yang selanjutnya harus diproses didalam sebuah system politik, dan juga merupakan energi atau bahan bakar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup system politik. Tanpa kedua dukungan ini maka system politik  tidak dapat  menjalankan  fungsinya

Kondisi demikian sangatlah mungkin didapatkan dengan adanya sosialisasi politik kepada publik sehingga mereka memiliki partisipasi politik. Semakin  maju masyarakatnya maka semakin baik tingkat partisipasi politiknya.  Partisispasi politik merupakan keterlibatan atau keikutsertaan seseorang atas satu kelompok didalam kegiatan-kegiatan politik. Wadah partisipasi politik adalah kelompok-kelompok kepentingan dan partai politik. 

Dengan demikian  partisispasi politik  berarti juga berkaitan dengan pola tingkah laku masyarakat dalam rangka mempengaruhi jalannya suatu sistem politik. Dengan adanya partisipasi politik, end result yang diharapkan dari kesemuanya itu adalah suatu penyerapan terhadap nilai-nilai yang ada dari lingkungan sistem maupun masyarakat kepada individu maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan yang berinteraksi dengansistem dimaksud.

Semakin baik sosialisasi politiknya maka akan semakin baik partisipasi politiknya.  Dengan demikian keberhasilan politik berada dalam satu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Proses sosialisasi politik suatu bangsa berhubungan dengan sebuah kebudayaan politik. Menurut Lucien Pye dan Sidney Verba, yang dimaksud dengan kebudayaan politik  adalah orientasi-orientasi individu dan masyarakat, yang meliputi sikap-sikap dan nilai-nilainya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, terhadap suatu sistem politik.

Oleh karena itu sosialisasi politik merupakan salah satu fungsi dari system politik yang harus dan wajib untuk dilakukan/dijalankan. Sosialisasi politik ini memiliki fungsi untuk menetapkan dan memelihara sistem politik itu sendiri,. Dengan kata lain proses ini dilakukan  untuk mendapatkan orientasi politik individu maupun masyarakat secara umum – berkaitan dengan partisipasi politik yang mungkin dilakukan sebagai hasil dari sosialisasi.

Kamis, 10 Mei 2012

Sosiologi Politik


Sosiologi politik mempunyai beberapa pengertian yang dilihat dari sudut berbeda beberapa ahli. Berikut ini adalah beberapa pengertian sosiologi politik:

Sosiologi politik adalah cabang ilmu sosiologi yang memperhatikan sebab dan akibat sosial dari distribusi kekuatan di dalam masyarakat, dan dengankonflik-konflik sosial dan politik yang berakibat pada perubahan terhadap alokasi kekuatan tersebut. 

Fokus utama dari sosiologi politik adalah deskripsi, analisis, dan penjelasan tentang suatu negara, suatu lembaga yang mengklaim monopoli terhadap legitimasi pengunaan kekuatan terhadap suatu wilayah di masyarakat. Sementara ilmu politik terutama berurusan dengan mesin pemerintahan, mekanisme administrasi publik, dan bidang politik formal pada pemilihanumum, opini publik, dan perilaku politik. Analisis sosiologi terhadap gejala politik lebih menitikberatkan pada hubungan antara politik, struktur sosial, ideologi, dan budaya (Gordon Marshall, 1998).

Sosiologi politik adalah upaya untuk memahami dan campur tangan ke dalam hubungan yang selalu berubah antara sosial dan politik. Intinya, ketidakmungkinan dalam sosiologi politik membuat sosiologi politik itu penting.

Keberaadaan suatu kata tidak mengindikasikan keberadaan suatu konsep. Demikian juga, ketiadaan suatu kata tidak mengindikasikan ketiadaan suatu konsep. Karenanya kata “social” mungkin ada tanpa konsep dan sebaliknya. Ini diterapkan ke semua hubungan konsep kata bahwa seseorang yang melakukan sosiologi politik akan menggunakan kata ras, gender, kelas, bangsa, orang, kekuasaan, negara, tekanan, kekerasan, kekuatan, hukum, dan lain-lain.
Hubungan ketergantungan antara kata dan konsep memunculkan masalah definisi. “hanya yang tidak memiliki sejarah yang dapat diuraikan.” Karenanya konsep inti dari sosiologi politik tidak dapat diuraikan (http://www.theoria.ca/theoria mengutip Genealogy of Morality, II, 13)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Pengertian tersebut pada dasarnyamembedakan antara pemerintah dengan yang diperintah. Di dalam suatu kelompok manusia terdapat orang yang memerintah dan orang yang mematuhinya, terdapat mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ilmu ini adalah gabungan antara ilmu sosial dan politik yang berfokus pada hubungan antara masyarakat dan pemerintah, dimana pemerintah lebih berperan untuk mengatur masyarakat melalui lembaga kepemerintahannya.


Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari seluruh seluk beluk yang berhubungan dengan sosial. Banyak aspek yang dipelajari dalam ilmu sosiologi dimana berkait dengan kehidupan sosial, hubungan antar sesama, kekeluargaan, kasta, rumpun, bangsa, agama dan asosiasi kebudayaan, ekonomi dan organisasipolitik, dari keseluruhan yang tersebut adalah pernyataan naluri dari khalayak sosial. Dapat diambil pernyataan bahwa masyarakat adalah lebih dahulu dari pada Negara. 

Dahulu kala Negara hidup dikalangan masyarakat dengan sendirinya, dimana Negara tersebut berlanjut hingga ratusan ribu tahun dimanapun dan bervariasi pula dalam pertumbuhan dan pengembangannya. Bahkan sampai sekarang ini dimana berbagai bangsa telah menggapai kehidupan bermasyarakat akan tetapi tidak diperkuat oleh lembaga politik. Sosiologi adalah ilmu yang terkait kuat secara keseluruhan akan proses perkembangan kehidupan manusia, dimana jangkauan dan penjamahan ilmu sosilogi lebih luas layak pesatnya pertumbuhan manusia. 

Disisi lain jangkauan ilmu politik bersifat terbatas. Ilmu politik bersifat menyusun atau mengatur disiplin atau aturan, dan mengenai secara praktis dengan keistimewaan dari aspek kehidupan sosial atau phenomena politik. Sosiologi juga mempelajari sesuatu yang tidak merupakan phenomena ilmu politik, sedangkan hak yang tidak merupakan phenomena perpolitikan bersifat diluar atau terlalu sulit dijangkau dengan ilmu politik.

Perbedaan dan Interasi Ilmu politik dan Sosiologi:

Gilchrist: mengatakan, didalam ilmu politik kita musti mengambil fakta- Fakta dan hukum dari asosiasi masyarakat, dimana fakta- fakta dan hukum tersebut merupakan kewajiban dari ilmu sosilogi dalam penentuan. Asal mula hukum- hukum dan pertumbuhan negara diputuskan oleh ilmu sosiologi dimana keistimewaannya diminati oleh para pelajar ilmu politik.

Giddings: menegaskan, Bagaimana musibah bagi kita yang mengajarkan teori Kenegaraan untuk masyarakat dimana kita sendiri atau masyarakat tersebut tidak mengetahui dasar ilmu sosiologi, maka pengajaran tersebut serupa dengan mengajarkan mereka tentang ilmu bintang atau ilmu pergerakan panas, dimana masyarakat bahkan kita sendiri tidak mengetahui syarat hukum dari pada Newtonian, maka sia- sialah. 

Abad ini metodologi dari ilmu sociologi dan hukum- hukum masyarakat secara keseluruhan ditemukan dengan terbuka sehingga ilmu politik juga turut berpengaruh. Demikian pula, ilmu sosiologi berhutang budi terhadap ilmu politik atas informasi yang berkenaan dengan organisasi dan aktifitas dalam Negara.

Sabtu, 05 Mei 2012

Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia



Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia Selama Orde Baru berkuasa, jarang sekali dikaji mengenai politik yang menyinggung tentang kemungkinan pemerintahan yang cenderung otoriter, ternyata memberikan kontribusi terhadap ketertiban sosial karena dapat meredam kekerasan dalam masyarakat. 



Hal ini menurut Cribb (2005) disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) sejak zaman penjajahan sudah muncul opini bahwa masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat yang damai. Belanda juga memberikan gambaran tentang orang Jawa sebagai manusia yang paling lembut di muka bumi, (2) berkembangnya ide bahwa Orde Baru merupakan suatu kekuatan untuk kedamaian sosial sebagai lawan dari adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh para anggota PKI pada tahun 1965. Hal ini berbeda dengan masa Orde Lama yang mengutamakan kehidupan politik sehingga politik dianggap sebagai “panglima”.

Selanjutnya perilaku kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah terutama saat kampanye dan setelah partai atau calonnya mengalami kekalahan, demonstrasi yang berakhir dengan tindakan anarkhis, bentrokan antara kelompok yang setuju dan menolak terhadap suatu kebijakan, perilaku kekerasan dalam persidangan baik dalam persidangan lembaga legislatif maupun yudikatif dan berbagai peristiwa kekerasan lainnya menjadi pemandangan yang biasa pada era reformasi ini.


Menurut Klinken (2005) perilaku kekerasan di Indonesia justru bermunculan pada saat bangsa ini memasuki era reformasi. Bahkan daftar perilaku kekerasan pada era reformasi ini menjadi lebih panjang dari masa sebelumnya. Masalah Timor Timur, Papua, dan Aceh adalah konflik melawan Negara yang melahirkanbanyak perilaku kekerasan pasca Orde Baru. Di samping itu juga terjadi perilaku kekerasan di berbagai daerah seperti (a) Poso Sulawesi Tengah (1998-2001), (b) Ambon dan Maluku Selatan (1999-2002), (c) Kalimantan Barat (1999-2001), (d) Maluku Utara (1999-2001), Kalimantan Tengah (2001), dan yang masih sangat hangat segar dalam ingatan kita, terjadi di Sumatera Utara (2009).

Perilaku kekerasan yang tejadi di Poso dan Kalimantan Tengah berkaitan dengan kontrol atas kabupaten-kabupaten yang diatur dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru. Perilaku kekerasan di Ambon terkait dengan persepsi mengenai ancaman dan kesempatan bagi umat beragama di seputar kontrol atas Negara berkenaan dengan kegiatan pemilihan umum, sedangkan perilaku kekerasan di Maluku Utara dan Kalimantan Barat berkaitan dengan pembentukan provinsi dan kabupaten baru. 

Perilaku kekerasan yang menimbulkan kurban jiwa, yaitu meninggalnya ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara juga berkaitan dengan tuntutan masyarakat untuk memaksakan kehendak dalam mewujudkan terbentuknya provinsi baru di Tapanuli.