Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia Selama Orde Baru berkuasa, jarang sekali dikaji mengenai politik yang
menyinggung tentang kemungkinan pemerintahan yang cenderung otoriter, ternyata
memberikan kontribusi terhadap ketertiban sosial karena dapat meredam kekerasan
dalam masyarakat.
Hal ini menurut Cribb (2005) disebabkan oleh dua hal, yaitu
(1) sejak zaman penjajahan sudah muncul opini bahwa masyarakat tradisional
Indonesia adalah masyarakat yang damai. Belanda juga memberikan gambaran
tentang orang Jawa sebagai manusia yang paling lembut di muka bumi, (2)
berkembangnya ide bahwa Orde Baru merupakan suatu kekuatan untuk kedamaian
sosial sebagai lawan dari adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh para
anggota PKI pada tahun 1965. Hal ini berbeda dengan masa Orde Lama yang
mengutamakan kehidupan politik sehingga politik dianggap sebagai “panglima”.
Selanjutnya perilaku kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah
terutama saat kampanye dan setelah partai atau calonnya mengalami kekalahan,
demonstrasi yang berakhir dengan tindakan anarkhis, bentrokan antara kelompok
yang setuju dan menolak terhadap suatu kebijakan, perilaku kekerasan dalam
persidangan baik dalam persidangan lembaga legislatif maupun yudikatif dan
berbagai peristiwa kekerasan lainnya menjadi pemandangan yang biasa pada era
reformasi ini.
Menurut Klinken (2005) perilaku kekerasan di Indonesia justru bermunculan
pada saat bangsa ini memasuki era reformasi. Bahkan daftar perilaku kekerasan
pada era reformasi ini menjadi lebih panjang dari masa sebelumnya. Masalah
Timor Timur, Papua, dan Aceh adalah konflik melawan Negara yang melahirkanbanyak perilaku kekerasan pasca Orde Baru. Di samping itu juga terjadi perilaku
kekerasan di berbagai daerah seperti (a) Poso Sulawesi Tengah (1998-2001), (b)
Ambon dan Maluku Selatan (1999-2002), (c) Kalimantan Barat (1999-2001), (d)
Maluku Utara (1999-2001), Kalimantan Tengah (2001), dan yang masih sangat
hangat segar dalam ingatan kita, terjadi di Sumatera Utara (2009).
Perilaku kekerasan yang tejadi di Poso dan Kalimantan Tengah berkaitan
dengan kontrol atas kabupaten-kabupaten yang diatur dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru. Perilaku kekerasan di Ambon terkait dengan persepsi
mengenai ancaman dan kesempatan bagi umat beragama di seputar kontrol atas
Negara berkenaan dengan kegiatan pemilihan umum, sedangkan perilaku kekerasan
di Maluku Utara dan Kalimantan Barat berkaitan dengan pembentukan provinsi dan
kabupaten baru.
Perilaku kekerasan yang menimbulkan kurban jiwa, yaitu
meninggalnya ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara juga berkaitan dengan tuntutan
masyarakat untuk memaksakan kehendak dalam mewujudkan terbentuknya provinsi
baru di Tapanuli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar