Kamis, 14 Agustus 2014

etika politik



Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. 

Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. 

Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: 

simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Etika politik vs Machiavellisme

Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. 

Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? 

Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Bertempat di Hotel Milenium Jakarta, Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri RI menyelenggarakan Dialog Publik Pengembangan Etika Politik. Dialog Sehari pada 22 November 2010 itu menampilkan tiga pembicara, yaitu Prof. Dr. Soeprapto dari LPPKB, Drs Selamet Sutrisno, M.Si dari UGM, dan prof. Dr. J. Sudarminta dari DRIAKARA. Pesertanyapun beragam, mulai dari kalangan pemerintahan, partai politik, ormas, LSM, Badan Eksekutif Mahasiswa, Agamawan, Budayawan, Pengusaha, dan dari berbagai Media Cetak/Elektronik.

Ketiga pembicara menyampaikan makalah yang seragam, yaitu bagaimana konsep etika Pancasila menjadi konsep dasar politik di Indonesia. Pancasila sebagai local genious mesti diimplementasikan oleh para politikus di Indonesia, agar mereka bisa lebih etis dalam berpolitik. Penyajian makalah tersebut mendapatkan tanggapan yang rata-rata seragam dari para undangan. Lebih dari 15 undangan menyampaikan “uneg-uneg” mereka tentang fakta ketidak-etisan para pelaku politik dan pejabat negara. Salah satu fakta yang diungkap adalah, money game saat kampanye, proyek-proyek politik yang hanya mencari keuntungan finansial bagi kalangan tertentu, dan praktik korupsi. 

Dialog yang seyogyanya dihadiri oleh perwakilan seluruh Partai Politik di Indonesia itu, faktanya lebih banyak dihadiri oleh kalangan non parpol. Jadilah forum dialog tersebut sebagai kritik publik terhadap sikap politikus Indonesia yang sering kali membuat trenyuh masyarakat. Tanpa kehadiran partai-partai politik, acara tersebut terkesan menjadi tak mencapai tujuannya, karena umumnya para peserta dari kalangan non-politik merasa kajian para narasumber mestinya diserap oleh para aktifis partai politik. 

Bahkan, Drs. Selamet Sutrisno, Dosen Ilmu Filsafat UGM menularkan rasa pesimisnya terhadap para politikus. Di akhir presentasinya, beliau menyatakan, “Saya yakin elit politik dan negara masa kini tidak akan sanggup menghayati ajaran etis pancasila, seperti prasaja pangruwating rubeda”.

Beberapa peserta juga ada yang mempertanyakan kesaktian Pancasila sebagai konsep etika berpolitik. Umumnya mereka pun merasa tidak yakin jika Pancasila dapat menjadi konsep etika politik karena beragam fakta bahwa para politikus Indonesia justru tidak memahami konsep Pancasila. Namun menurut pendapat saya, yang gagal dalam konteks tersebut, bukanlah konsep Pancasila itu sendiri. 

Apapun konsep dasar etikanya (Pancasila maupun Agama) jika memang para politisi gagal memahami apalagi mengimplementasikan konsep etika tersebut, maka gerak perpolitikan di Indonesia akan tetap bertahan pada politik tak etis. Sepertinya para politikus harus banyak belajar dari local wisdom dalam keragaman budaya Indonesia. Mereka mestinya belajar dari pemimpin-pemimpin adat dan kebudayaan yang sampai hari ini masih eksis di hati masyarakatnya. Jadi, tak perlu studi banding ke Yunani untuk belajar etika. Di Indonesia, lebih banyak “guru-guru etika” yang selama ini dipandang rendah oleh para pelaku politik

Selasa, 08 Juli 2014

Pengertian ilmu politik



Didalam hidup bernegara sudah lazimnya jika politik menjadi suatu pembicaraan yang hangat, kebanyakan masyarakat pada umumnya menilai perpolitikan itu kotor.
Bahkan masyarakat mengklaim setiap individu yang telah berbaju politik terkesan kotor, koruptor dan dianggap kaum munafik.

Pemikiran- pemikiran seperti ini telah tertanam pada setiap masyarakat baik berjenis pria atau wanita, anak- anak bahkan remaja- remaji. Faktor penyakit ini disebabkan kurangnya bimbingan ilmu politik terhadap masyarakat sekitar.

Nah, untuk mencegah penyakit yang berwabah ini diperlukan beberapa siraman kesejukan melalui ilmu tersebut, Ada beberapa definisi yang diberikan oleh para philosophy tentang ilmu politik, diantaranya:

1. Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.

2. Sedangkan pendapat Seely dan Stephen leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menanggani pemerintahan.

3. Dilain pihak pemikir francis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.

4. Disisi lain, Lasswell menyetujui ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh dan kekuasaan.

Dari beberapa definisi diatas sudah jelas bahwa ilmu politik sangat diperlukan didalam satu Negara, Dimana perbedaan pendapat hampir terkesan sama. Tapi perlu diketahui pendapat yang paling utama merupakan paling luas dan tepat, yang mana dikatakan bahwa ilmu politik, ilmu yang mempelajari tentang Negara, Dimana berartikan luas dan mencakup secara keseluruhan.

Perlu kita ketahui setiap ilmu pada dasarnya murni danbaik, itupun kalau sang pemakai cenderung lurus dan jujur. Ilmu politik yang telah berumur kira- kira 2500 tahun ini dibentuk oleh para ilmuwan philosophy jelas memiliki banyak mamfaat.

Intisarinya Ilmu politik sangatlah berbeda dengan para pelakonnya, yang mana aktor politik berlakon layaknya musik berlaju, Mereka tidak mau tau apakah itu benar atau salah yang jelas dramanya selesai.

Sedangkan jika membaca dan meneliti theori, jangkauan dan tujuan ilmu politik sendiri sangatlah berbeda. Ilmu politik memberikan cara dalam bernegara dengan baik, Tapi sayangnya para executive membawanya kejalan yang berlumpur.

Tidaklah salah anggapan rakyat terhadap perpolitikan sekarang ini, yang mana terlihat jelas kotor, koruptor bahkan terkesan melenceng dari ajaran ilmu tersebut. Solusinya amatlah diperlukan gambaran pemimpin- pemimpin yang bijaksana, adil, jujur dan memiliki kecakapan yang luas.

Jika Negara telah memiliki kriteria pemimpin diatas maka Negara tersebut akan berkembang pesat, damai dan sejahtra, sedangkan kuncinya terdapat pada rakyat pula, siapa yang akan dipilih itulah tombaknya.

Sebelum mendefinisikan apa itu ilmu politik, maka perlu diketahui lebih dulu apa itu politik. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara. Secara umum istilah politik dapat diartikan berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life(kehidupan yang baik).
Menurut Goodin dalam buku “A New Handbook of Political Science”, politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara paksa. Jadi, ilmu politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber paksaan itu serta cara menggunakan kekuasaan social dengan paksaan tersebut.

Beberapa definisi berbeda juga diberikan oleh para ahli , misalnya:
• Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.
• Menurut Seely dan Stephen Leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan.
• Dilain pihak pemikir Prancis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :
• Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan politik sistematis.
• Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.

Perkembangan Ilmu Politik

Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.

Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri.

Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).

Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi. Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat.

Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanyaberfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.

Proses Politik Di Indonesia



Proses Politik Di Indonesia
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari
masa-masa berikut ini:

 -Masa prakolonial
-Masa kolonial (penjajahan)
-Masa Demokrasi Liberal
-Masa Demokrasi terpimpin
-Masa Demokrasi Pancasila
-Masa Reformasi
 
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
-Penyaluran tuntutan
-Pemeliharaan nilai
-Kapabilitas
-Integrasi vertikal
-Integrasi horizontal
-Gaya politik
-Kepemimpinan
-Partisipasi massa
-Keterlibatan militer
-Aparat negara
-Stabilitas

 Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :

1. Masa prakolonial (Kerajaan)

Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
-Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa
-Kapabilitas – SDA melimpah
-Integrasi vertikal – atas bawah
-Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
-Gaya politik – kerajaan
-Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
-Partisipasi massa – sangat rendah
-Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
-Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
-Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang

2. Masa kolonial (penjajahan)
-Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
-Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
-Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
-Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
-Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
-Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
-Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
-Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
-Keterlibatan militer – sangat besar
-Aparat negara – loyal kepada penjajah
-Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah

3. Masa Demokrasi Liberal
-Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
-Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
-Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
-Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
-Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
-Gaya politik – ideologis
-Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
-Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
-Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
-Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
-Stabilitas - instabilitas

4. Masa Demokrasi terpimpin

-Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
-Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
-Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
-Integrasi vertikal – atas bawah
-Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
-Gaya politik – ideolog, nasakom
-Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
-Partisipasi massa – dibatasi
-Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
-Aparat negara – loyal kepada negara
-Stabilitas - stabil