Kekerasan merupakan salah satu kejahatan struktural yang paling berbahaya.
Kekerasan yang sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis yang dipakai dalam
sistem sosial politik (Haryatmoko, 2003).
Secara sistematis bentuk kekerasan
ini lazimnya diterapkan oleh penguasa otoriter untuk menghadapi lawan politik,
melemahkan oposisi, dan sejenisnya. Kekerasan psikologis terkait dengan
kekerasan negara atau kekerasan yang terlembagakan. Dinamakan kekerasan yang
terlembagakan karena kekerasan ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan
tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik yang mendapat
legitimasi dari sistem nilai dan ideologi.
Di negara-negara dunia ke tiga pada umumnya, kekerasan yang dilembagakan ini
memakan korban, seperti kelompok minoritas dan kaum oposisi. Mereka yang
dipandang musuh oleh negara, yaitu kelompok yang tidak sesuai dengan politik
penguasa maka secara sistematis akan menjadi korban kekerasan ini. Kekerasan
sebagai alat untuk memberikan hukuman bagi para pelanggar kekuasaan atau
tatanan sosial telah mengalami pergeseran makna karena kekerasan menjadi alat
untuk mempertahankan kekuasaan. Artinya kekerasan yang tidak boleh dilakukan
terhadap penguasa menjadi diperbolehkan terhadap rakyat biasa dan terhadap
lawan politik dari penguasa. Sementara itu dalam kekerasan structural, terdapat
dialektika antara pelaku dengan struktur. Penguasa cenderung mengatasnamakan
hukum dan ketertiban untuk melegitimasi perilaku kekerasan. Sementara pihak oposisi
juga dapat melakukan kekerasan karena merupakan reaksi atas ketidaksetujuannya
terhadap kebijakan penguasa.
Perilaku kekerasan juga disebut dengan istilah agresi, yaitu untuk
menggambarkan perilaku destruktif yang sulit dikontrol, tidak hanya meliputi
tindakan yang bersifat pisik, melainkan juga mencakup kekerasan verbal,
psikologis, dan simbolis, atau kombinasi dari berbagai aspek tersebut. Pendapat
ini didukung oleh Semin & Fiedler (1996), Berkowitz (1999), dan Suryabrata
(2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar