Sabtu, 19 Mei 2012

Pancasila Sebagai Etika Politik


Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila
Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai Tjosakai oleh Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk menyelidiki dan merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia.

Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan dasar atau falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan draft dasar negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga orang ini dalam tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang.

Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan usulannya. Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi; negara yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat integralistis atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup berketuhanan tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah agar pemimpin negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan azas kekeluargaan, tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan Indonesia asli. 

Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang meliputi; persatuan, kewargaan, kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial.

Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan rumusan; kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang perumusan dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena kita langsung dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas dengan Pancasila yang ada sampai sekarang ini.

Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang dibentuk oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta. Yang isinya adalah rumusan Pancasila berikut ini;
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik yang sangat tajam antara para elittokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila pertama. Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan adanya tujuh kataini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk bukan hanya karena umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru lahir, atas usul Bung Hatta, tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa

Jumat, 18 Mei 2012

Sosialisasi Politik


Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropha  Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta keikutsertaan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan  dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu fihak dan pemerintah difihak lain. Partai politik umumnya dianggap  sebagai manifestasi dari suatu sitem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri.

Maka dari itu, dewasa  ini negara-negara baru pun partai sudah menjadi  lembaga politik yang biasa dijumpai. Dinegara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar idiologis bahwa rakyat berhak untuk menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin  yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Dinegara –negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pada pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang baik.

Politik adalah sebuah system yang terdiri dari seperangkat unsur/elemen/komponen maupun sub system yang saling interrelasi, interaksi, interdependensi sehingga merupakan suatu totalitas, entitas yang utuh, terpadu dan mempunyai fungsi maupun output tertentu. Semua itu tentunya memiliki tujuan akhir dengan jalan internal maupun eksternal.  Tujuan akhir dalam pencapaian politik juga sangat ditentukan oleh  sistem politik itu sendiri.

System tidak bisa dilepaskan dari pendefinisiannya secara subjektif atau objektif, sebagai ilustrasi pendefinisian terhadap sebuah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak, sementara ada yang mendefinisikan bahwa keluarga dapat berdiri sendiri tanpa lkehadiran seorang ayah atau ibu, hal itu bisa saja dilakukan dengan bayi tabung. Definisi lain mnegatakan bahwa seorang guru mendefinisikan pekerjaannya lah yang lebih penting dibandingkan dengan pekerjaan yang lainnya. Dia beranggapan bahwa siapapun tidak akan pintar tanpa bantuannya, intinya setiap peran didefinisikan oleh pelakunya – demikian halnya pendefinisian dalam politik.

Politik sebagai suatu sistem memiliki pengertian dan batasan-batasan, batasan yang kita kenal tersebut diantaranya dikemukakan oleh David Eston  yang terdiri dari tiga komponen yaitu : (1) The political system allocates value ( by means of politics) ;  (2)  its allocation are authoritative; and (3) its authoritative allocation are binding on the society as a whole.

Pengertian atau batasan yang dikemukakan oleh David Eston diatas menyatakan  bahwa sistem politik adalah merupakan alokasi  daripada nilai-nilai, dalam mana pengalokasian daripada nilai-nilai tadi bersifat paksaan atau dengan kewenangan, dan pengalokasian yang bersifat paksaan tadi mengikat  masyarakat  sebagai suatu keseluruhan .    Lebih jauh David Eston menyatakan pula bahwa system politik dapat diperkenalkan sebagai seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari seluruh tingkah laku sosial, melalui mana nilai-nilai tersebut dialokasikan secara otoritatif kepada masyarakat

Sebagai ilustrasi, pada politik masa orde baru system politik mengarah kepada sistem politik demokrasi pancasila  yang dilakukan  melalui pendekatan stabil dinamis. Stabil dalam arti bahwa proses pembangunan jangan sampai mengganggu kestabilan kehidupan politik yang diperlukan untuk menyukseskan pembangunan dibidang lainnya. Dinamis dalam arti bahwa kestabilan politik  yang ada dan berlaku jangan sampai bergerak ditempat, mandeg, tetap berada di jenis status quo, sehingga menghambat proses pembangunan politik dari satu tahap ke tahap berikutnya. 

Hambatan-hambatan ini harus dapat diminimaslisir dengan upaya-upaya pencapaian tujuan yang sebenarnya harus dirancang sebelumnya untuk mencapai satu tujuan politik yang diinginkan.  Upaya pencapaian tujuan itu bukanlah hal yang instan melainkan memerlukan perjalanan yang panjang dengan berbagai penciptaan kondisi dan penyiapan kader  -kader sesuai dengan misi patria politik.  Penyiapan kader-kader yang sesuai dengan keinginan kelompok/partai politik  selanjutnya dapat dilakukan dengan melakukan sosialisais politik. Sosialisasi politik ini melibatkan segala komponen yang ada didalam masyarakat termasuk kelompok-kelompok kepentingan  yang memiliki signifikansi terhadap pencapaian tujuan.

Keberhasilan suatu sosialisai politik merupakan keberhasilan suatu kondisi masyarakat, artinya bahwa keberhasilan dalam sosialisasi politik sangat tergantung pada kerjasama masyarakat itu sendiri dan kondisi sosial masyarakat.  Elemen-elemen pembangun dan penggerak kehidupan politik, memberikan sumbangan sesuai dengan kapasitasnya terhadap terjadinya perubahan-perubahan yang terjadi dalam percaturan politik, terutama dalam upaya kepemilikan kekuasaan yang akan menjadi agen perubahan system yang ada. Kesemuanya itu dibangun untuk menciptakan dominasi satu kelompok atas kelompok yang lain, dominasi adalah hal yang tidak bisa dibagi secara merata, otomatis yang memilikinya adalah satu kelompok tertentu dan hal itu hanya bisa dicapai dengan kemenangan politik. Pada prinsipnya sistim politik harus menghimpun support dan menghilangkan demand.

Sifat demikian bukanlah merupakan hal yang mudah melainkan memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. bagaimana tidak berbagai upaya banyak dilakukan oleh berbagai kelompok agar mampu memenangkan kekuasaan politik. Dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki tingkat pluralisme yang tinggi. Terdiri dari beribu – ribu pulau, berbagai macam suku Bangsa, ras, dan agama yang tersebar diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan keanekaragaman tersebut merupakan dimensi  – dimensi horizontal dari pada struktur masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia yang menjadi semakin penting artinya dari waktu ke waktu, dapat disaksikan dalam dalam bentuk semakin timbulnya polarisasi sosial berdasarkan politik dan kekayaan.  Support dan demand bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan dalam  menunjang kekhuasaan politik, kondisi pluralisem bangsa Indonesia memerlukan  perjuangan yang panjang dalam mewujudkannya.

Dalam konteks yang dikemukanan diatas, kepentingan akan sosialisasi  politik merupakan bagian yang tidak terpisakan dari kondisi masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa kita sekarang berbicara dengan konsep pluralisme dalam melakukan sosialisasi. Tentunya dalam melakukan sosialisasi harus memiliki methode-methode tertentu yang menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa didalam sebuah sistem politik, selalu akan memiliki konsekwensi-konsekwensi  yang penting bagi masyarakat, berupa keputusan yang sifatnya otoritatif. Pada tahap selanjutnya konsekuensi seperti hal inilah yang disebut dengan output. Dilain pihak untuk untuk dapat bekerjanya suatu system sangat memerlukan adanya input.

Terkait dengan hal diatas, terdapat dua jenis input didalam sebuah system politik, yaitu input yang berupa tuntutan (demand) dan input yang berupa dukungan (support). Kedua jenis input inilah yang akan memberikan bahan olahan yang selanjutnya harus diproses didalam sebuah system politik, dan juga merupakan energi atau bahan bakar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup system politik. Tanpa kedua dukungan ini maka system politik  tidak dapat  menjalankan  fungsinya

Kondisi demikian sangatlah mungkin didapatkan dengan adanya sosialisasi politik kepada publik sehingga mereka memiliki partisipasi politik. Semakin  maju masyarakatnya maka semakin baik tingkat partisipasi politiknya.  Partisispasi politik merupakan keterlibatan atau keikutsertaan seseorang atas satu kelompok didalam kegiatan-kegiatan politik. Wadah partisipasi politik adalah kelompok-kelompok kepentingan dan partai politik. 

Dengan demikian  partisispasi politik  berarti juga berkaitan dengan pola tingkah laku masyarakat dalam rangka mempengaruhi jalannya suatu sistem politik. Dengan adanya partisipasi politik, end result yang diharapkan dari kesemuanya itu adalah suatu penyerapan terhadap nilai-nilai yang ada dari lingkungan sistem maupun masyarakat kepada individu maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan yang berinteraksi dengansistem dimaksud.

Semakin baik sosialisasi politiknya maka akan semakin baik partisipasi politiknya.  Dengan demikian keberhasilan politik berada dalam satu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Proses sosialisasi politik suatu bangsa berhubungan dengan sebuah kebudayaan politik. Menurut Lucien Pye dan Sidney Verba, yang dimaksud dengan kebudayaan politik  adalah orientasi-orientasi individu dan masyarakat, yang meliputi sikap-sikap dan nilai-nilainya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, terhadap suatu sistem politik.

Oleh karena itu sosialisasi politik merupakan salah satu fungsi dari system politik yang harus dan wajib untuk dilakukan/dijalankan. Sosialisasi politik ini memiliki fungsi untuk menetapkan dan memelihara sistem politik itu sendiri,. Dengan kata lain proses ini dilakukan  untuk mendapatkan orientasi politik individu maupun masyarakat secara umum – berkaitan dengan partisipasi politik yang mungkin dilakukan sebagai hasil dari sosialisasi.

Kamis, 10 Mei 2012

Sosiologi Politik


Sosiologi politik mempunyai beberapa pengertian yang dilihat dari sudut berbeda beberapa ahli. Berikut ini adalah beberapa pengertian sosiologi politik:

Sosiologi politik adalah cabang ilmu sosiologi yang memperhatikan sebab dan akibat sosial dari distribusi kekuatan di dalam masyarakat, dan dengankonflik-konflik sosial dan politik yang berakibat pada perubahan terhadap alokasi kekuatan tersebut. 

Fokus utama dari sosiologi politik adalah deskripsi, analisis, dan penjelasan tentang suatu negara, suatu lembaga yang mengklaim monopoli terhadap legitimasi pengunaan kekuatan terhadap suatu wilayah di masyarakat. Sementara ilmu politik terutama berurusan dengan mesin pemerintahan, mekanisme administrasi publik, dan bidang politik formal pada pemilihanumum, opini publik, dan perilaku politik. Analisis sosiologi terhadap gejala politik lebih menitikberatkan pada hubungan antara politik, struktur sosial, ideologi, dan budaya (Gordon Marshall, 1998).

Sosiologi politik adalah upaya untuk memahami dan campur tangan ke dalam hubungan yang selalu berubah antara sosial dan politik. Intinya, ketidakmungkinan dalam sosiologi politik membuat sosiologi politik itu penting.

Keberaadaan suatu kata tidak mengindikasikan keberadaan suatu konsep. Demikian juga, ketiadaan suatu kata tidak mengindikasikan ketiadaan suatu konsep. Karenanya kata “social” mungkin ada tanpa konsep dan sebaliknya. Ini diterapkan ke semua hubungan konsep kata bahwa seseorang yang melakukan sosiologi politik akan menggunakan kata ras, gender, kelas, bangsa, orang, kekuasaan, negara, tekanan, kekerasan, kekuatan, hukum, dan lain-lain.
Hubungan ketergantungan antara kata dan konsep memunculkan masalah definisi. “hanya yang tidak memiliki sejarah yang dapat diuraikan.” Karenanya konsep inti dari sosiologi politik tidak dapat diuraikan (http://www.theoria.ca/theoria mengutip Genealogy of Morality, II, 13)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Pengertian tersebut pada dasarnyamembedakan antara pemerintah dengan yang diperintah. Di dalam suatu kelompok manusia terdapat orang yang memerintah dan orang yang mematuhinya, terdapat mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ilmu ini adalah gabungan antara ilmu sosial dan politik yang berfokus pada hubungan antara masyarakat dan pemerintah, dimana pemerintah lebih berperan untuk mengatur masyarakat melalui lembaga kepemerintahannya.


Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari seluruh seluk beluk yang berhubungan dengan sosial. Banyak aspek yang dipelajari dalam ilmu sosiologi dimana berkait dengan kehidupan sosial, hubungan antar sesama, kekeluargaan, kasta, rumpun, bangsa, agama dan asosiasi kebudayaan, ekonomi dan organisasipolitik, dari keseluruhan yang tersebut adalah pernyataan naluri dari khalayak sosial. Dapat diambil pernyataan bahwa masyarakat adalah lebih dahulu dari pada Negara. 

Dahulu kala Negara hidup dikalangan masyarakat dengan sendirinya, dimana Negara tersebut berlanjut hingga ratusan ribu tahun dimanapun dan bervariasi pula dalam pertumbuhan dan pengembangannya. Bahkan sampai sekarang ini dimana berbagai bangsa telah menggapai kehidupan bermasyarakat akan tetapi tidak diperkuat oleh lembaga politik. Sosiologi adalah ilmu yang terkait kuat secara keseluruhan akan proses perkembangan kehidupan manusia, dimana jangkauan dan penjamahan ilmu sosilogi lebih luas layak pesatnya pertumbuhan manusia. 

Disisi lain jangkauan ilmu politik bersifat terbatas. Ilmu politik bersifat menyusun atau mengatur disiplin atau aturan, dan mengenai secara praktis dengan keistimewaan dari aspek kehidupan sosial atau phenomena politik. Sosiologi juga mempelajari sesuatu yang tidak merupakan phenomena ilmu politik, sedangkan hak yang tidak merupakan phenomena perpolitikan bersifat diluar atau terlalu sulit dijangkau dengan ilmu politik.

Perbedaan dan Interasi Ilmu politik dan Sosiologi:

Gilchrist: mengatakan, didalam ilmu politik kita musti mengambil fakta- Fakta dan hukum dari asosiasi masyarakat, dimana fakta- fakta dan hukum tersebut merupakan kewajiban dari ilmu sosilogi dalam penentuan. Asal mula hukum- hukum dan pertumbuhan negara diputuskan oleh ilmu sosiologi dimana keistimewaannya diminati oleh para pelajar ilmu politik.

Giddings: menegaskan, Bagaimana musibah bagi kita yang mengajarkan teori Kenegaraan untuk masyarakat dimana kita sendiri atau masyarakat tersebut tidak mengetahui dasar ilmu sosiologi, maka pengajaran tersebut serupa dengan mengajarkan mereka tentang ilmu bintang atau ilmu pergerakan panas, dimana masyarakat bahkan kita sendiri tidak mengetahui syarat hukum dari pada Newtonian, maka sia- sialah. 

Abad ini metodologi dari ilmu sociologi dan hukum- hukum masyarakat secara keseluruhan ditemukan dengan terbuka sehingga ilmu politik juga turut berpengaruh. Demikian pula, ilmu sosiologi berhutang budi terhadap ilmu politik atas informasi yang berkenaan dengan organisasi dan aktifitas dalam Negara.

Sabtu, 05 Mei 2012

Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia



Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia Selama Orde Baru berkuasa, jarang sekali dikaji mengenai politik yang menyinggung tentang kemungkinan pemerintahan yang cenderung otoriter, ternyata memberikan kontribusi terhadap ketertiban sosial karena dapat meredam kekerasan dalam masyarakat. 



Hal ini menurut Cribb (2005) disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) sejak zaman penjajahan sudah muncul opini bahwa masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat yang damai. Belanda juga memberikan gambaran tentang orang Jawa sebagai manusia yang paling lembut di muka bumi, (2) berkembangnya ide bahwa Orde Baru merupakan suatu kekuatan untuk kedamaian sosial sebagai lawan dari adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh para anggota PKI pada tahun 1965. Hal ini berbeda dengan masa Orde Lama yang mengutamakan kehidupan politik sehingga politik dianggap sebagai “panglima”.

Selanjutnya perilaku kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah terutama saat kampanye dan setelah partai atau calonnya mengalami kekalahan, demonstrasi yang berakhir dengan tindakan anarkhis, bentrokan antara kelompok yang setuju dan menolak terhadap suatu kebijakan, perilaku kekerasan dalam persidangan baik dalam persidangan lembaga legislatif maupun yudikatif dan berbagai peristiwa kekerasan lainnya menjadi pemandangan yang biasa pada era reformasi ini.


Menurut Klinken (2005) perilaku kekerasan di Indonesia justru bermunculan pada saat bangsa ini memasuki era reformasi. Bahkan daftar perilaku kekerasan pada era reformasi ini menjadi lebih panjang dari masa sebelumnya. Masalah Timor Timur, Papua, dan Aceh adalah konflik melawan Negara yang melahirkanbanyak perilaku kekerasan pasca Orde Baru. Di samping itu juga terjadi perilaku kekerasan di berbagai daerah seperti (a) Poso Sulawesi Tengah (1998-2001), (b) Ambon dan Maluku Selatan (1999-2002), (c) Kalimantan Barat (1999-2001), (d) Maluku Utara (1999-2001), Kalimantan Tengah (2001), dan yang masih sangat hangat segar dalam ingatan kita, terjadi di Sumatera Utara (2009).

Perilaku kekerasan yang tejadi di Poso dan Kalimantan Tengah berkaitan dengan kontrol atas kabupaten-kabupaten yang diatur dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru. Perilaku kekerasan di Ambon terkait dengan persepsi mengenai ancaman dan kesempatan bagi umat beragama di seputar kontrol atas Negara berkenaan dengan kegiatan pemilihan umum, sedangkan perilaku kekerasan di Maluku Utara dan Kalimantan Barat berkaitan dengan pembentukan provinsi dan kabupaten baru. 

Perilaku kekerasan yang menimbulkan kurban jiwa, yaitu meninggalnya ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara juga berkaitan dengan tuntutan masyarakat untuk memaksakan kehendak dalam mewujudkan terbentuknya provinsi baru di Tapanuli.

Senin, 30 April 2012

Teori perilaku kekerasan



Perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, yaitu (1) teori belajar sosial, (2) teori insting, (3) teori kepribadian, (4) teori kognitif, dan (5) teori frustasi agresi.

Teori Belajar Sosial. Menurut Bandura (dalam Thalib, 2003) perilaku individu pada umumnya dipelajari secara observasional melalui model, yaitu mengamati bagaimana suatu perilaku baru dibentuk dan kemudian menjadi informasi penting dalam mengarahkan perilaku. 

Sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model. Contoh kegiatan demonstrasi yang dilanjutkan dengan tindakan anarkhis (membakar ban di tengah jalan, merobohkan pintu gerbang, bentrok dengan aparat keamanan, dan sebagainya) dapat menjadi model perilaku kekerasan bagi para demonstran.


Teori Insting. Teori Freud mengenai insting kerap mengundang kontroversi. Teori ini menegaskan bahwa timbulnya perilaku kekerasan adalah karena insting, yaitu perwujudan psikologis dari suatu sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir sehingga semua orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan. Semula Freud mengemukakan bahwa perilaku kekerasan itu berkaitan erat dengan energi libidoseksual, jika insting seksual ini mengalami hambatan maka timbullah perilaku kekerasan. 

Selanjutnya Freud mengemukakan dikotomi energi positif dan energi destruktif yang keduanya diduga memiliki dasar biologistik yang harus terwujud dalam perilaku nyata. Jika energi destruktif mengarah ke pihak luar maka menjadi pemicu perilaku kekerasan terhadap orang lain, sedangkan jika mengarah pada diri sendiri maka dapat mendorong keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau perilaku bunuh diri.

Teori Kepribadian. Sifat-sifat kepribadian sebagai sifat internal berkorelasi dengan perilaku kekerasan termasuk erosi kontrol internal terhadap sikap cepat marah (Ravinus dan Larimer, 2003). Anak yang mengalami gangguan seperti cepat marah dan mudah menyerang cenderung mengembangkan pola perilaku kekerasan pada usia selanjutnya. Dengan demikian faktor temperamen yang merupakan bagian dari komponen kepribadian berkaitan dengan perilaku kekerasan.


Teori Kognitif. Konsep dasar teori kognitif mengacu pada kegiatan mental yang tidak dapat diubah begitu saja dalam menjelaskan perilaku sosial dengan postulat yang sesungguhnya seperti persepsi, pikiran, intensi, perencanaan, keterampilan, dan perasaan. Teori kognitif sosial menekankan pentingnya interaksi resiprokal faktor-faktor individu sebagai penentu perilaku kekerasan. Kecenderungan perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan mengacu pada teori kognitif.

Teori Frustasi-Agresi. Terjadinya frustasi adalah jika seseorang tidak dapat memiliki sesuatu yang diinginkan pada waktu orang tersebut benar-benar memerlukannya. Dollard et al (dalam Wimbarti, 1996) berkeyakinan bahwa setiap tindakan agresi dan kekerasan pada akhirnya dapat dilacak penyebabnya dalam kaitannya dengan frustasi. Frustasi merupakan salah satu faktor penentu agresi dankekerasan.

partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan


Kekerasan merupakan salah satu kejahatan struktural yang paling berbahaya. Kekerasan yang sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis yang dipakai dalam sistem sosial politik (Haryatmoko, 2003). 

Secara sistematis bentuk kekerasan ini lazimnya diterapkan oleh penguasa otoriter untuk menghadapi lawan politik, melemahkan oposisi, dan sejenisnya. Kekerasan psikologis terkait dengan kekerasan negara atau kekerasan yang terlembagakan. Dinamakan kekerasan yang terlembagakan karena kekerasan ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik yang mendapat legitimasi dari sistem nilai dan ideologi.

Di negara-negara dunia ke tiga pada umumnya, kekerasan yang dilembagakan ini memakan korban, seperti kelompok minoritas dan kaum oposisi. Mereka yang dipandang musuh oleh negara, yaitu kelompok yang tidak sesuai dengan politik penguasa maka secara sistematis akan menjadi korban kekerasan ini. Kekerasan sebagai alat untuk memberikan hukuman bagi para pelanggar kekuasaan atau tatanan sosial telah mengalami pergeseran makna karena kekerasan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Artinya kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap penguasa menjadi diperbolehkan terhadap rakyat biasa dan terhadap lawan politik dari penguasa. Sementara itu dalam kekerasan structural, terdapat dialektika antara pelaku dengan struktur. Penguasa cenderung mengatasnamakan hukum dan ketertiban untuk melegitimasi perilaku kekerasan. Sementara pihak oposisi juga dapat melakukan kekerasan karena merupakan reaksi atas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan penguasa.

Perilaku kekerasan juga disebut dengan istilah agresi, yaitu untuk menggambarkan perilaku destruktif yang sulit dikontrol, tidak hanya meliputi tindakan yang bersifat pisik, melainkan juga mencakup kekerasan verbal, psikologis, dan simbolis, atau kombinasi dari berbagai aspek tersebut. Pendapat ini didukung oleh Semin & Fiedler (1996), Berkowitz (1999), dan Suryabrata (2000).

Sabtu, 17 Maret 2012

Partisifasi Politik



Partisipasi Politik
Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. 

Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupanberbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. 

Sementara itu di negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warganegara cenderung meningkat.


Mengacu pendapat Budiardjo (2003), Huntington dan Nelson (2001), pengertian partisipasi politik mencakup: (a) kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tindakan politik, (b) dilakukan oleh warganegara biasa dan bukan oleh pejabat pemerintah, (c) dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, (d) semua kegiatan untuk mempengaruhi pemerintah terlepas tindakan itu efektif atau tidak, dan berhasil atau gagal, (e) dilakukan secara langsung oleh pelakunya sendiri maupun secara tidak langsung melalui perantara.

Milbrarth dan Goel (1997) membedakan partisipasi politik menjadi empat kategori, yaitu (a) apatis, artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, (b) spektator, artinya orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum, (c) gladiator, yakni mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, seperti aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat, dan (d) pengritik, yaitu partisipasi dalam bentuk non-konvensional.

Di negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, partisipasi warganegara senantiasa ditumbuhkembangkan dalam segala aspek kehidupan karena program pembangunan akan berhasil jika didukung oleh partisipasi warganegara yang makin meluas. Untuk itu pembangunan politik di Indonesia harus dapat meningkatkankualitas pendidikan politik, memantapkan etika dan moral budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa, yaitu Pancasila, dan meningkatkan pengetahuan dan wawasan warganegara tentang berbagai kewajiban dan haknya sehingga mereka mampu dan mau berperan aktif dalam kegiatan politik.

Kendatipun para ahli sependapat bahwa jumlah orang yang mengikuti kegiatan yang tidak intensif, yaitu tidak menyita waktu dan tidak atas prakarsa sendiri, seperti kegiatan berpartisipasi dalam pemilihan umum biasanya cukup besar, namun ternyata fakta objektif menunjukkan sebaliknya. Hal ini terjadi di Indonesia, yaitu tingkat partisipasi politik warganegara terutama dalam menggunakan haknya pada pemilihan umum ternyata mengalami penurunan dari waktu ke waktu, Dari pangalaman menyelenggarakan pemilu sejak Orde Baru, gejala ke arah tidakmenggunakan hak pilih (golput) mengalami kenaikan. 

Hal ini terbukti dari data tingkat partisipasi warganegara dalam pemilihan umum dan yang golput sejak pemilihan umum tahun 1971 sampai dengan 2004 nampak bahwa jumlah partisipasi politik tertinggi selama pemilu sejak era Orde Baru terjadi pada tahun 1971, yaitu mencapai 94 %, sedangkan yang golput 6 %. Hal ini dapat dimengerti karena pemilu 1971 merupakan pemilu pertama era Orde Baru sehingga masyarakat memiliki antusias yang sangat tinggi karena mereka berharap akan terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. 

Kondisi ini ternyata mengalami perubahan pada pemilu 1977, karena tingkat partisipasi menurun menjadi 90,6 % dan berarti yang golput meningkat menjadi 9,4 %. Nampaknya ada kekecewaan dari sebagian masyarakat karena mereka tidak merasakan ada perubahan sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada pemilu 1982, 1987, 1992, dan pemilu 1997 tingkat partisipasi politik makin menurun dan angka golput makin meningkat.

Namun demikian, pada pemilu 1999 tingkat partisipasi warganegara Indonesia meningkat lagi menjadi 93,3 % dan hanya 6,7 % yang golput. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu 1999 merupakan pemilu pertama era reformasi, sehingga warganegara kembali antusias berpartisipasi dalam pemilu karena mereka berharap terjadi perubahan dalam kehidupan politik, seperti demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia yang menjadi bagian dari tuntutan reformasi. 

Namun pada pemilu 2004, lagi-lagi tingkat partisipasi warganegara dalam pemilu mengalami penurunan 4,9 % menjadi 84, 4 %, berarti angka golput mengalami kenaikan menjadi 15, 6 %. Warganegara nampaknya juga kecewa dengan pemilu sebelumnya yang diharapkan dapat membawa perubahan di negara ini tetapi ternyata tidak terwujud.

Selasa, 13 Maret 2012

Masalah Politik


Kandungan terpenting dalam memahami kecenderungan politis di Indonesia, yakni bagaimana kita memahami aspek keragaman sosial itu sendiri. 

Sementara itu, dalam kontek pemahaman demokrasi, terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial tersebut menjadi semacam modal kultural. Sehingga, keragaman sosial itu, dapat kita jadikan semacam potensi sosial, guna memperkuat nilai-nilai demokrasi. Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya konflik sosial. 

Pada tahap bahwa keragaman sosial dinyatakan sebagai kekayaan atas bentuk demokrasi "model Indonesia", menurut hemat penulis akan melahirkan beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis- yang intinya lebih banyak melakukan beragam akomodasi- dan bukan berupa represi kultural, seperti pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang hegemonik.

Sebaliknya, apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan kultural yang berjung pada ketidak-stabilan politik. Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh kekuasaan negara. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan sparatisme akhir-akhir ini, dengan kasat mata, kekuasaan politik terlalu mudah menyederhanakan masalah.

Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk kerewelan daerah-serta dianggap menggangu kedudukan pusat kekuasaan. Padahal, suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam bangsa-bangsa di Indonesia, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit untuk kita bendung. 

Keragaman sebagai keniscyaan wacana multikulturalisme hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, sampai dengan orientasi politik. Tawaran paradigma berupa kesadaran multikulturalisme,memang, bukanlah hal yang baru. 

Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep keberagaman yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. 

Penyelewengan konsepsi bernegara semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk- seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Indonesia. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan Indonesia yang cerdas, dalamarti mampu melihat ancaman menjadi potensi. 

Konsepsi Indonesia dengan segala bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat Indonesia pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk (plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa multikultural. Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di sini adalah; bagaimana para pelaku politik mempunyai tanggung jawab yang memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial. 

Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja politik , menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang, para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka pendek.

Indikasi kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini. Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas, harus didasarkan semangat egaliterisme- dengan muatan dan prasayarat yang sangat kompleks. Hal ini sejalan dengan pandangan ahli filsafat bernama James Mills yang menyatakan bahwa demokrasi bersifat plural tidak dapat dipraktekan dengansemena-mena. 

Hal itu menyangkut persiapan kelembagaan, sistem kenegaraan dan moralitas bangsa dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang dibawa oleh sifat keterbukaan pluralisme. Bilamana model demokrasi yang menekankan pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif. Maka dari itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah sepatutnya beragam piranti negara jauh lebih serius, manakala kita menghendaki geo-politik Indonesia hendak dipertahankan

Dengan lain perkataan, apakah kita akan tetap mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk negara yang lebih pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan untuk melakukan perubahan paradigma negara secara lebih mendasar, saya mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan terhadap Aceh, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Indonesia ke depan. 

Sejarah telah membuktikan, tidak ada satu pun kasus yang dapat membuktikan bahwa dengan cara-cara pendekatan represif mampu menyelesaikan secara tuntas akar permasalahan sparatisme. Alasannya sepele saja, perlawanan-perlawana itu akan menjadi obor baru bagi perlawanan berikutnya, bilamana negara melakukan kekerasan politik terhadap sebuah entitas politik. Kita dapat merujuk pada kasus di Kashmir, Liberia, Chec bahkan kasus negara tetangga seperti yang terjadi di Philipinan Selatan, kesemuanya gagal diselesaikan melalui jalan kekerasan politik. Pada tataran semacam itu, penulis mengkhawatirkan, apabila kita di masa mendatang justru memaskui wilayahperubahan yang "tidak kita kenali". Lebih parah lagi apabila para politisi justru menempatkan diri seperti pernah dinyatakan oleh mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara, Ohio University, serta Associate Professor, Department of Philosophy, Ohio University, Athens, Ohio, Elizabeth Fuller Collins sebagai berikut :

"(suatu) proses transisi politik yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai untuk memobilisasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat, termasuk diantaranya para pekerja, yang saat ini dikecualikan secara resmi dari kehidupan politik. Dibawah situasi seperti itu, tampaknya akan sangat mungkin...bagi partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain, yang mewakili bagian-bagian tertentu dari elit politik, untuk mencoba memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik pasca-Suharto."

Jumat, 09 Maret 2012

Tipe Budaya Politik


TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper­padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.


Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiranberpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinanmasyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men­ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerjasama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifatakomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim­pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

Berdasarkan Orientasi Politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budayapolitik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Rabu, 07 Maret 2012

Budaya Politik


Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.

Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.

Makalah ini akan mengeksplorasi secara luas pengertian budaya politik dari berbagai pakar. Meskipun hanya mengemukakan berbagai pendapat tentang budaya politik diharapkan bisa memberikan gambaran konsep yang kontroversial ini.

Pola sikap dan orientasi individu
Menurut Gabriel Almond  (1966) budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni :
  1. Orientasi Kognitif  : pengetahuan, keyakinan
  2. Orientasi Afektif  : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik
  3. Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.
Orientasi individu terhadap obyekpolitik dapat dipandang dari tiga hal itu. Oleh karena itu seorang individu mungkin memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari kebijakannya. Inilah yang disebut dimensi kognitif.

Namun ia mungkin memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Mungkin keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Mungkin ia tak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang disebut dimensi afektif.

Akhirnya seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Barangkali noram-norma demokrasinya mendorong dia menilai sistem sebagai tidak cukup responsif terhadap tuntutan politik atas norma-norma etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme.Dimensi-dimensi ini saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara.

Orientasi individu dan kolektif
Walter A Rosenbaum menyebutkan, budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya.
Kedua, budaya politik merujuk padaorientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya. Inilah yang disebut “pendekatan sistem”.

Aspek politik sistem nilai
Albert Widjaja menyatakan budayapolitik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk mneolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah menyamakanbudaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.

Obyek-obyek Orientasi Politik
Obyek yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor politik dan ego dari aktor politik.

Almond sendiri seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya politik.
  1. Budaya politik parokial dimana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada semakli terhadap sistem politik. Kelompok ini aka ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
  2. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur inputs.
  3. Budaya politik partisipan adalah individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses  dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan.
Rosenbaum menulis daftar tentang orientasi terhadap elemen-elemen tatanan politik.
  1. 1. Orientasi terhadap struktur pemerintah
  2. Orientasi rejim, bagaimana individu mengevaluasi dan merespon terhadap lembaga pemerintahan, simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya.
  3. Orientasi terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana individu merasakan dan merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan kebijakan yang diputuskan pemerintah.
  4. 2. Orientasi terhadap yang lain dalam sistem politik
  5. Orientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah geografis dan kelompok dimana ia merasa memilikinya.
  6. Kepercayaan politik, sejauh mana seseorang merasa terbuka, kooperatif atau bersikap toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat.
  7. “Aturan permainan”, konsep individu tentang aturan mana yang harus diikuti dalam kehidupan kenegaraan.
  8. Orientasi terhadap Aktivitas Politiknya
  9. Kompetensi Politik, seberapa sering dan dalam cara bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana yang paling sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah kenegaraan.
  10. Political Efficacy, perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses politik
  11. Kebiasan, seni dan pemikiran adalah wujud dari budaya. Setiap umat manusia yang ada didunia memiliki wujud tersebut dalam perkembangan hidup dari masa ke masa. Budaya merupakan salah faktor yang mempengaruhi proses kemajuan manusia berabad – abad bahkan dalam hidup bernegara.
    Definisi budaya

     
    Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
    Pengertian budaya
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.


Herskovits memandangkebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.  



Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.



Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.